Saat kepentingan yang berbeda dalam kehidupan berkelompok jelas
menciptakan disharmoni. Kehadiran sosok atau seseorang yang kuat dan mampu
memelihara berlakunya sesuatu aturan main yang harus ditaati oleh semua pihak
merupakan tanda lahirnya pemerintahan. Bentuk awal dari lahirnya pemerintahan
itu bisa bermacam-macam, namun ciri pokoknya adalah tercapainya kesepakatan
terhadap aturan hukum tersebut hadirnya seorang pemimpin yang ditaati, secara
tulus atau terpaksa, oleh orang-orang dalam suatu kelompok masyarakat.
Singkatnya, baik buruknya pemerintahan dalam konteks ini, sangat bergantung
pada kualitas kepribadian dan kemampuan sang penguasa.
Dalam perkembangannya, dominasi kekuasaan yang terletak pada penguasa
tadi (the ruler) tidak dapat terus dipertahankan terutama karena dua
alasan. Pertama, kehadiran seorang penguasa yang dekat dengan
rakyatnya, memiliki kepekaan terhadap kepedulian atas aspirasi dan kebutuhan
rakyat, bijaksana, dan setia kepada kebenaran, sangat jarang menyertai
keberadaan sebuah pemerintahan. Kedua, keadaan di atas
melahirkan kesadaran masyarakat akan arti penting kekuasaan, seiring dengan
kemajuan tingkat kesejahteraan mereka yang berimplikasi pada tingkat pendidikan
dan peradaban masyarakat secara keseluruhan.
Akibat dari hal tersebut, masyarakat yang awalnya terbiasa untuk taat
terhadap aturan yang dibuat penguasa, secara gradual (bertahap)
mempertanyakan keabsahan dari sebuah kekuasaan yang dianggapnya melakukan
penyelewangan mandat kekuasaan. Di sisi lain, semakin besar dan kuatnya akan
terbentuk kutub-kutub baru yang lahir dari lemahnya ketergantungan ekonomi,
sosial, dan peradaban masyarakat kepada kekuassan yang diakui oleh negara. Apa
yang lazim disebut sebagai civil society merupakan produk
kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan peradaban lainnya, akan cenderung
berada di luar kekuasaan sah.
Dalam situasi ini, konsensus-konsensus etis yang dibangun dalam
proses governing itu kemudian dituangkan ke dalam aturan hukum
yang mengikat. Sejumlah nilai yang mulanya disepakati secara etis berubah
menjadi suatu produk hukum yang harus ditaati. Ada konteks ini, pemerintahan
tidak lagi terbatas sebagai proses governing, tetapi sudah menjadi
proses administering. Efektivitas pemerintahan tidak lagi
tergantung semata-mata kepada kapasitas pribadi seorang penguasa, juga tidak
pada kemampuan para pemimpin untuk membangun konsensus-konsensus tadi, tetapi
lebih kepada sistem administrasi yang baku dan absah, yang prosedur
dan aturan mainnya sudah menjadi acuan oleh semua pihak.
Berdasarkan ulasan singkat di atas, maka Ryaas Rasyid (19:1997) membagi
adanya tiga paradigma pemerintahan, yaitu :
1. Pemerintahan sebagai ruling process.
Hal ini ditandai oleh ketergantungan pemerintahan dan masyarakat kepada
kapasitas kepemimpinan seseorang. Dalam proses ini, kepribadian seorang
pemimpin mendominasi hampir seluruh interaksi kekuasaan. Kualitas pemerintahan
juga mutlak pada kualitas pemimpinnya. Seluruh pengambilan keputusan dalam
proses pemerintahan ditentukan boleh atau tidak bertentangan dengan keinginan
pemimpin. Oleh karenanya, populer disebutkan dia adalah pembawa kemakmuran,
ataupun juga dapat menjadi sumber bencana. Dalam situasi ruling,
pemimpin yang mendiktekan nilai-nilai, bahkan hukum yang diformulasikan secara
sepihak, memiliki keleluasaan untuk tunduk kepada nilai-nilai dan hukum yang
berlaku, atau melanggarnya jika tindakan itu dipandang lebih menguntungkan
kekuasaan. Dalam konteks historis, proses ruling ini terlihat
baik dalam sistem kerajaan absolut maupun sistem diktatorial.
2. Pemerintahan
sebagai governing process.
Ditandai oleh praktek pemerintahan yang didasarkan pada
konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan
dijalankan berdasarkan kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus
(wacana). Dalam proses ini, walaupun sistem hukum yang ada belum lengkap,
kekurangan itu ditutupi oleh tradisi membuat konsensus tadi. Kedaulatan rakyat
sebagai konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya di sini.
3. Pemerintahan sebagai an
administering process.
Dibangunnya suatu sistem hukum yang kuat dan komprehensif melalui
seluruh interaksi kekuasaan, dan dikendalikan oleh sistem administrasi yang
bekerja secara tertib dan teratur. Di dalam sistem ini, setiap konsensus yang
dicapai akan tertuang ke dalam aturan hukum yang mengikat dan setiap tindakan
serta peristiwa pemerintahan dan kemasyarakatan terekam ke dalam suatu
administrasi yang dapat sewaktu-waktu diacu dalam proses pengambilan keputusan.
Kalau sistem ini sudah terbangun, masalah kepribadian pemimpin tidak lagi
menjadi faktor determinan. Maksudnya, siapapun yang masuk ke dalam posisi
pemimpin akan taat atau dipaksa oleh sistem yang berlaku untuk tunduk pada
aturan dan nilai-nilai yang baku. Adapun aparatur dan warga negara yang secara
aktif menaati aturan tersebut berperan sebagai pengawas atas kejujuran dan
konsistensi proses kepemimpinan yang berlaku.
Ketiga paradigma ini sekaligus merupakan tahapan dalam pembangunan
sebuah pemerintahan. Pemisahan atas ketiga konsep tersebut hanya untuk
menggambarkan bahwa nilai-nilai yang melekat dan menyertai proses pemerintahan
berubah berdasarkan dinamika masyarakat yang bersangkutan. Jika ketiga konsep
tersebut dianggap sebagai nilai dan aturan yang bersifat bulat, maka pergeseran
dari ruling ke governing ke administering sebaiknya
dilihat sebagai isyarat kemajuan. Dalam kenyataannya, setiap pemerintahan
memiliki karakter yang membaur lebih dari satu sifat dasar dari tiga paradigma
itu. Perbedaannya terletak pada kecenderungan karakter mana yang dominan
mewarnai keberadaan mereka. Pergesearan dalam paradigma itu, tidaklah berjalan
secara linear dan positif. Suatu praktek pemerintahan yang semula lebih dekat
kepada proses governing bisa saja mundur kembali ke
proses ruling. Jika dikaitkan dengan demokrasi, maka
proses governing merupakan awal dari kelahiran pemerintahan
yang demokratis, dan proses administering merupakan wujud yang
lebih menjamin kelangsungan pemerintahan yang demokratis itu.
Konsep tentang pergeseran paradigma itu bertolak dari asumsi bahwa
penghayatan masyarakat tentang makna sebuah pemerintahan berkembang seiring
dengan peningkatan kualitas peradaban yang mereka bangun. Jika pada suatu masa
tertentu terbentuk kepercayaan yang luas bahwa proses governing lebih
baik daripada proses ruling, dan proses administering lebih
baik daripada proses governing, maka ketiga konsep itu bisa
dianggap sebagai paradigma. Jadi, walaupun dalam kenyataan unsur-unsur dari dua
atau tiga konsep dapat ditemukan bersama dalam sebuah pemerintahan, tetap dapat
diamati konsep dan nilai mana yang dominan. Keberadaan bersama ketiga paradigma
itu sebaiknya dilihat sebagai suatu proses transisi yang sangat mungkin
terjadi, walaupun ada yang transisinya berjalan cepat atau lamban. Akan tetapi,
ketiga konsep tersebut dapat menjadi keraguan jika masyarakatnya menganggap
ketiganya selalu diterima secara luas sebagai kebenaran yang mutlak menyertai
keberadaan sebuah pemerintahan. Dalam konteks ini, menurut Ryaas Rasyid
(22:1997) dalam bukunya makna pemerintahan, tidak memenuhi syarat sebagai
paradigma, tetapi lebih menampil sebagai spektrum pemerintahan.
EmoticonEmoticon