Minggu, 12 Januari 2025

Sentralisasi atau Desentralisasi

 

          Tarik menarik pola sentralisasi dan desentralisasi sebagai dua prinsip dasar dalam pengaturan hubungan pusat dan daerah mampu membuka peluang terjadinya disitegrasi. Kuatnya tarik menarik daerah untuk desentralisasi tidak semata-mata dikarenakan kuatnya solidaritas kedaerahan. Hal ini ternyata akibat kecenderungan over sentralisasi dan politik penyeragaman yang sangat keras yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru. Kerangka pengaturan politik selama 32 tahun telah memaksa penyerapan energy politik dan ekonomi ke Jakarta.

Jika kita memperhatikan beberapa pergolakan dan pemberontakan yang terjadi di tanah air maka terlihat adanya beberapa kesamaan, antara lain adanya keterlibatan sejumlah perwira militer yang memiliki pengaruh kuat dan berasal dari daerah yang bergolak tersebut. Oleh karena itu Angkatan Bersenjata selalu melakukan alih tugas dengan maksud untuk mengurangi pengaruh mereka di daerah-daerah.

Disamping itu terlihat pula politisi lokal yang berakar dan menjadi panutan masyarakat. Sejak dini pemerintah pusat berupaya untuk membatasi pengaruh mereka di daerah. Rezim orde baru menempuh dua cara yaitu :

1.       Politik pengasingan, yang dilakukan melalui promoso jabatan yang lebih tinggi tetapi tidak menguntungkan yang bersangkutan secara politik.

2.       Diterapkan penyeragaman mekanisme pengaturan kehidupan politik, sehingga para pegawai dan politisi yang memiliki potensi yang kuat di daerah harus mengikuti mekanisme yaitu sebagai birokrasi nasional.

Setelahnya, upaya yang lebih terlembaga dan sistematis yang dilakukan oleh rezim orde baru adalah menjinakkan daerah-daerah antara lain dengan cara :

1.       Pengelolaan pemerintahan yang dilakukan secara terpusat di Jakarta, sehingga terjadi hiper-sentralisasi. Maksud kebijakn ini tidak lain agar semua potensi politik daerah mengalir secara cepat ke pusat.

2.       Diberlakukannya sistem eselonisasi dalam pengaturan kepegawaian. Sistem ini menyebabkan adanya penyerapan “social capital” secara vertikal terjadi luar biasa.

Melalui sistem eselonisasi tenaga terbaik yang memiliki pengaruh di setiap daerah akan naik ke strata politik yang lebih tinggi dan mencapai puncaknya di Jakarta. Hal ini dilakukan melalui mekanisme yang sah dan mengcu pada konstitusi dan mendapat legalisasi dari wakil-wakil rakyat di DPR serta institusi-institusi demokrasi, misalnya partai politik dan organisasi kemasyaarakatan.

Untuk menyerap potensi lokal maka pengaturan politik mengikuti logika yang sama dengan pengaturan pemerintahan. Sistem dan mekanisme kepartaian dan pemilu, berikut pengaturan berbagai lembaga fungsional dan kemasyarakatan pemuda, profesi di daerah sepenuhnya mengikuti logika komparatisme Negara. Lebih jauh pengaturan pemerintahan tersebut masih diperkuat oleh kehadiran lembaga paralel militer terhadap birokrasi sipil di setiap tingkatan pemerintahan yang secara penuh menjalankan kepentingan Jakarta yang diberi makna ideologis sebagai kepentingan nasional.

Struktur dan mekanisme pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah pusat sudah cukup menjamin energi politik dan ekonomi mengalir ke Jakarta. Akan tetapi keinginan pemerintah pusat belum juga terpuaskan. Karenanya para pejabat pemerintahan di Jakarta merasa perlu mengembangakan politik stick and carrots dan sebuah jaringan mata-mata yang sesuai dengan tuntutan sistem pemerintahan yang dijalankannnya.

Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepatuhan dan loyalitas terhadap pemerintah pusat. Kantor-kantor sosial politik yang sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah pusat dan Angkatan Bersenjata adalah salah satu contoh yang dapat dikemukakan.

Proses penyerapan energi lokal juga berlangsung di lahan ekonomi. Beberapa fakta menunjukkan bahwa daerah yang menolak sentralisasi pada umumnya daerah yang kaya secara ekonomis. Daerah-daerah ini merupakan pusat-pusat perdagangan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah,memberikan inspirasi kepada pemerintah pusat untuk melakukan langkah-langkah agar daerah senantiasa tergantung kepada Jakarta.

Hal ini dilakukan dengan mengembangkan model perencanaan pembangunan, yang mana pemerintah pusat menjadi sentrum ketergantungan (benevolent), terlihat dari sitem alokasi anggaran yang menempatkan pemerintah seolah-olah adalah sumber bukan hanya perencanaan tapi sekaligus sumber pembiayaan bagi daerah-daerah. Sistem pembangunan yang dikembangkan menutup secara total posisi exploatif pemerintah pusat. Dengan demikian, pemerintah pusat tidak lagi dinyatakan beban bagi daerah, namun juga sebagai penyelamat daerah.

Kesemuanya ini memang telah berhasil memaksakan kesetiaan dan kepatuhan daerah-daerah. Akan tetapi arah kesetiaan dan kepatuhan tersebut tidak berlangsung lama, dimana masa reformasi tuntutan akan otonomi semakin menguat dan bahkan membuka peluang bagi terjadinya disintegrasi nasional. Untuk menghindari peluang terjadinya pemberontakan di daerah, maka pemberian otonomi harus memperhatikan pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah karena akan  mengandung konsekuensi yang cukup serius, sehinggga akan menimbulkan semangat kedaerahan yang berlebihan.

Selanjutnya pengalihan kewenangan untuk mengelola sumber daya alam harus didukung oleh teknologi serta penerapan  sistem distribusi nasional yang mampu menjembatani  persoalan ketimpangan sumber daya alam antardaerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberi jaminan adanya kepuasan ekonomi bagi daerah-daerah.

Sekalipun pemberian otonomi daerah merupakan jalan terbaik untuk memecahkan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah. Akan tetapi dalam realisasinya masih membuka peluang terjadinya pemberontakan dan penolakan yang harus diantisipasi sedini mungkin. Untuk mengatasi terjadinya pemberontakan di daerah, maka pemberian otonomi setidaknya memperhatikan dua hal pokok berikut :

1.       Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah akan mengandung konsekuensi yang cukup serius, yang mana akan memungkinkan berkembangnya semangat kedaerahan secara berlebihan. Oleh karena itu, pengembangan demokratisasi di daerah harus didukung oleh pelunakan isu-isu primordial. Hak-hak minoritas harus ditegakkan.

2.       Pengalihan kewenangan untuk sumber daya alam harus didukung oleh teknologi serta penerapan sistem distribusi nasional yang mampu menjembatani petimpangan sumber daya alam. Hal ini dimaksudkan untuk memberi jaminan kepuasan ekonomi bagi daerah-daerah.

           Sekalipun pemberian otonomi daerah merupakan jalan terbaik untuk memecahkan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, akan tetapi dalam realisasinya harus lebih mampu memberi jaminan terhadap keutuhan bangsa, dimana segenap peluang untuk terjadinya pemberontakan dan penolakan harus diantisipasi sedini mungkin.

 

Senin, 16 Desember 2024

Konsep Dasar Pemerintah dan Pemerintahan

 



Dengan menggunakan pendekatan dari segi bahasa terhadap kata “Pemerintah” dan “Pemerintahan”, kedua kata tersebut berasal dari kata “perintah” berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. Di dalam kata “perintah” tersimpul beberapa unsur yang merupakan ciri khasnya, yaitu :

1.    Adanya keharusan, menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan.

2.    Adanya dua pihak, yaitu yang memberi perintah dan yang menerima perintah.

3.    Adanya wewenang atau kekuasaan unruk memberi perintah.

Di dalam bahsa Inggris istilah pemerintahan dan pemerintah tidak memiliki perbedaan yang disebut dengan “government”. Istilah ini bersumber dari latin yaitu “gubernauculum” yang berarti kemudi. Kata government dapat bermakna :

1.    Melaksanakan wewenang pemerintahan.

2.    Cara atau sistem memerintah.

3.    Fungsi atau kekuasaan untuk memreintah.

4.    Wilayah atau Negara yang diperintah.

5.    Badan yang terdiri dari orang-orang yang melaksanakan wewenang dan administrasi hukum dalam suatu Negara.

Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap konsep pemerintah dan pemerintahan, dapat dibandingkan dengan beberapa pendapat berikut :

1.    Robert mac Iver ;

Pemerintahn sebagai pemerintahan politik berarti sebagai organisasi yang dipusatkan untuk mempertahankan suatu sistem ketertiban atas suatu masyarakat.

2.    Wallace S. Sayre ;

Pemerintahan adalah alat perwakilan yang terorganisir yang menyatakan dan menggunakan kekuasaan daripada Negara.

3.    Pressly S. Silas dan John E. Stoner ;

Pemerintahan adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh badan pemerintahan untuk mencapai tujuan Negara.

4.    Mr. S.L.S Danurejo ;

Pemeintahan adalah segala daya upaya Negara untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut bergantung pada tipe yang melekat pada Negara tersebut. Andaikan suatu Negara bertipe Negara kemakmuran, maka Negara itu berarti segala upaya untuk menciptakan kemakmuran bagi warganya.

5.    Mr. Amrah Muslimin ;

Pemerintahan suatu Negara merupakan cara mengendalikan Negara tersebut untuk mencapai tujuannya.

Dengan memerhatikan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep pemerintahan mengandung makna antara lain :

1.    Kumpulan dari berbagai kegiatan atau aktivitas sebagai suatu fungsi yang sifatnya dinamis.  Kagiatan atau aktivitas yang dimaksud meliputi tugas dan wewenang.

2.    Kegiatan atau aktivitas yang diselenggarakan oleh suatu subjek, yakni organisasi, badan, lembaga dan pejabat-pejabat pemerintahan suatu Negara.

3.    Karena pemerintahan bertujuan untuk mencapai tujuan Negara, maka dengan sendirinya pemerintahan merupakan bagian dari Negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan konsep pemerintahan adalah badan, lembaga, aparat atau instansi yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan tersebut. Dengan kata lain bahwa untuk mencapai tujuan Negara perlu diadakan suatu lembaga yang bertugas menjalankan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas pemerintahan dalam Negara tersebut. Hal ini disebut juga sebagai pemerintah.

Montesquie membagi fungsi pemerintahan menjadi 3, yaitu :

1.    Pembentukan undang-undang (legislative power = wetgeving).

2.    Pelaksanaan undang-undang (executive power = uitvoering).

3.    Peradilan (judicial power = rechtspraak).

Dengan mengacu pendapat seorang filsuf prancis di atas (Montesquie), maka yang disebut dengan pemerintahan dalam arti luas adalah seluruh fungsi pemerintahan, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Van Hollen Hoven enambah pembagian fungsi pemerintahan menjadi empat, yaitu dengan memasukkan unsur kepolisian sebagai bagaian dari fungsi pemerintahan. Ajarannya terkenal dengan sebutan catur praja yang meliputi :

1.    Bestuur atau pemerintahan, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan tujaun Negara.

2.    Politie, yaitu kekuasaan kepolisian untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum dalam Negara.

3.    Rechspraak atau peradilan, yaitu kekuasaan untuk menjamin keamanan dalam Negara.

4.    Regeling atau pengaturan perundang-undangan, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan umum dalam Negara.

Berbeda halnya dengan A.M. Donner yang merumuskan pemerintahan dalam arti luas sebagai berikut :

1.    Badan-badan pemerintahan di pusat yang menentukan haluan Negara.

2.    Instansi yang melaksanakan keputusan badan-badan tersebut.

Dengan memerhatikan konsep pemerintah dan pemerintahan di atas, semakin jelas perbedaan kedua istilah tersebut. Dengan demikian penggunaan kedua kata itu dalam setiap pembahasan dan kajian sistem pemerintahan di Indonesia memudahkan setiap pelajar dan ilmuan untuk menyesuaikan konteks dan makna yang diingankan.   

 

Kamis, 12 Desember 2024

Konsep Pemberdayaan

 

Pengertian Pemberdayaan

Istilah pemberdayaan semakin populer dalam konteks pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Konsep pemberdayaan ini berkembang dari realitas individu atau masyarakat yang tidak berdaya (powerless). Ketidakberdayaan yang dimaksud mencakup pengetahuan, pengalaman, sikap, keterampilan, modal usaha, networking, semangat, kerja keras, ketekunan, dan lainnya. Ketidakberdayaan dari aspek tadi mengakibatkan ketergantungan dan kemiskinan.

Pemberdayaan (empowerment) merupakan konsep yang berkaitan dengan kekuasaan (power). Istilah kekuasaan seringkali identik dengan Kemampuan individu untuk membuat dirinya atau pihak lain melakukan apa yang diinginkannya. Dengan kata lain, kekuasaan menjadikan orang lain sebagai objek dari pengaruh atau keinginan dirinya.

Menurut Djohani dalam Oos M. Anwas (49:2013), pemberdayaan adalah suatu proses untuk memberikan daya/kekuasaan (power) kepada pihak yang lemah (powerless), dan mengurangi kekuasaan (disempowered) kepada pihak yang terlalu berkuasa (powerful) sehingga terjadi keseimbangan. Pengertian pemberdayaan tersebut menekankan pada aspek pendelegasian kekuasaan, memberi wewenang, atau pengalihan kekuasaan kepada individu atau masyarakat sehingga mampu mengatur diri dan lingkungannya sesuai dengan keinginan, potensi, dan kemampuan yang dimilikinya.

Pemberdayaan tidak sekedar memberikan kewenangan atau kekuasaan kepada pihak yang lemah saja. Dalam pemberdayaan terkandung makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri. Menurut Parsons dalam Oos M. Anwas (49:2013), pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Selanjutnya menurut Ife dalam Oos M. Anwas (49:2013), pemberdayaan adalah menyiapkan kepada masyarakat berupa sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat dalam menentukan masa depan mereka, serta berpartisipasi dan memengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Dalam pelaksanaannya, pemberdayaan memiliki makna dorongan atau motivasi, bimbingan atau pendampingan dalam meningkatkan kemampuan individu atau masyarakat agar mampu hidup mandiri. Berangkat dari hal ini, perbedaan karakter dari setiap individu adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian pemberdayaan merupakan proses meningkatkan kemampuan individu atau masyarakat untuk berdaya yang dilakukan secara demokratis agar mampu membangun diri dan lingkungannya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya sehingga mampu hidup mandiri dan sejahtera.

Pemberdayaan juga menekankan pada proses, bukan semata-mata hasil (output) dari proses tersebut. Oleh karena itu ukuran keberhasilan pemberdayaan adalah seberapa besar partisipasi atau keberdayaan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang terlibat dalam proses tersebut, berarti semakin berhasil kegiatan pemberdayaan tersebut. Keberdayaan dalam konteks masyarakat merupakan kemampuan individu berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Tingkat partisipasi ini meliputi partisipasi secara fisik, mental, dan juga manfaat yang diperoleh oleh individu yang bersangkutan.

Meskipun pemberdayaan masyarakat tidak lahir dalam konsep ekonomi, tetapi seringkali ditujukan untuk tujuan pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Pengentasan kemiskinan tidak sekedar meningkatkan pendapatan, tetapi perlu diakukan secara holistik yang menyangkut aspek kehidupan dasar manusia, seperti gizi anggotanya, tingkat pendidikan, lingkungan, serta aspek lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemberdayaan juga tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan perlu dilakukan secara berkesinambungan melalui tahapan-tahapan sistematis dalam mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat, semua potensi yang dimiliki didorong dan ditingkatkan untuk berdaya dalam melawan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan.

Pemberdayaan Sebagai Proses Pembangunan Masyarakat

Sujeno dan Narimo dalam Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebiato (75:2013) mengemukakan bahwa, terminologi pemberdayaan masyarakat kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development), yaitu proses dimana usaha-usaha rakyat itu sendiri disatukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat, menyatukan masyarakat-masyarakat itu ke dalam kehidupan bangsa, dan memungkinkan masyarakat menyumbangkan secara penuh bagi kemajuan nasional.

Bartle dalam Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebiato (75:2013) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin kompleks dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih kompleks, intitusi kemandirian lokal tumbuh dengan baik, meningkatnya kekuatan kolektivitas serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.

Meskipun belum ada kesepahaman dan pengertian yang baku mengenai pemberdayaan masyarakat atau yang dikenal dengan community empowerment, nampaknya cukup penting dan berguna untuk mengadopsi pengertian pemberdayaan masyarakat yang dirilis oleh Tim Deliveri (2004) sebagai salah satu acuan, yaitu :

Pemberdayaan sebagai suatu proses yang bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri dengan menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin.

 

Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin, dibangun dari sumber daya lokal, sensifitis terhadap nilai-nilai lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, dan melibatkan berbagai pihak (instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, swasta, dan lain-lain), serta berkelanjutan. Komitmen pemerintah dalam memberdayakan masyarakat melalui dukungan dana dan sumberdaya lainnya dalam proses memfasilitasi program pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk diterapkan.

Sesuai dengan visi Community Empowerment for Rural Development (CERD) yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri, pemberdayaan masyrakat desa ditujukan untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat sehingga memiliki daya dan upaya untuk mengelola pembangunan di desanya secara mandiri, berkesinambungan, dan bebas dari kemiskinan. Sekarang saatnya untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut agar tujuan memandirikan masyarakat sesuai yang dicanangkan sejak awal. Proses pemberdayaan masyarakat yang efisien akan meningkatkan kesesuaian program pembangunan dengan kenyataan masyarakat memiliki rasa tanggungjawab yang kuat.

 

Selasa, 03 Desember 2024

Paradigma Ilmu Pemerintahan

 

Saat kepentingan yang berbeda dalam kehidupan berkelompok jelas menciptakan disharmoni. Kehadiran sosok atau seseorang yang kuat dan mampu memelihara berlakunya sesuatu aturan main yang harus ditaati oleh semua pihak merupakan tanda lahirnya pemerintahan. Bentuk awal dari lahirnya pemerintahan itu bisa bermacam-macam, namun ciri pokoknya adalah tercapainya kesepakatan terhadap aturan hukum tersebut hadirnya seorang pemimpin yang ditaati, secara tulus atau terpaksa, oleh orang-orang dalam suatu kelompok masyarakat. Singkatnya, baik buruknya pemerintahan dalam konteks ini, sangat bergantung pada kualitas kepribadian dan kemampuan sang penguasa.

Dalam perkembangannya, dominasi kekuasaan yang terletak pada penguasa tadi (the ruler) tidak dapat terus dipertahankan terutama karena dua alasan. Pertama, kehadiran seorang penguasa yang dekat dengan rakyatnya, memiliki kepekaan terhadap kepedulian atas aspirasi dan kebutuhan rakyat, bijaksana, dan setia kepada kebenaran, sangat jarang menyertai keberadaan sebuah pemerintahan.  Kedua, keadaan di atas melahirkan kesadaran masyarakat akan arti penting kekuasaan, seiring dengan kemajuan tingkat kesejahteraan mereka yang berimplikasi pada tingkat pendidikan dan peradaban masyarakat secara keseluruhan.

Akibat dari hal tersebut, masyarakat yang awalnya terbiasa untuk taat terhadap aturan yang dibuat penguasa, secara gradual (bertahap) mempertanyakan keabsahan dari sebuah kekuasaan yang dianggapnya melakukan penyelewangan mandat kekuasaan. Di sisi lain, semakin besar dan kuatnya akan terbentuk kutub-kutub baru yang lahir dari lemahnya ketergantungan ekonomi, sosial, dan peradaban masyarakat kepada kekuassan yang diakui oleh negara. Apa yang lazim disebut sebagai civil society merupakan produk kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan peradaban lainnya, akan cenderung berada di luar kekuasaan sah.

Dalam situasi ini, konsensus-konsensus etis yang dibangun dalam proses governing itu kemudian dituangkan ke dalam aturan hukum yang mengikat. Sejumlah nilai yang mulanya disepakati secara etis berubah menjadi suatu produk hukum yang harus ditaati. Ada konteks ini, pemerintahan tidak lagi terbatas sebagai proses governing, tetapi sudah menjadi proses administering. Efektivitas pemerintahan tidak lagi tergantung semata-mata kepada kapasitas pribadi seorang penguasa, juga tidak pada kemampuan para pemimpin untuk membangun konsensus-konsensus tadi, tetapi lebih kepada  sistem administrasi yang baku dan absah, yang prosedur dan aturan mainnya sudah menjadi acuan oleh semua pihak.

Berdasarkan ulasan singkat di atas, maka Ryaas Rasyid (19:1997) membagi adanya tiga paradigma pemerintahan, yaitu :

   1. Pemerintahan sebagai ruling process.

Hal ini ditandai oleh ketergantungan pemerintahan dan masyarakat kepada kapasitas kepemimpinan seseorang. Dalam proses ini, kepribadian seorang pemimpin mendominasi hampir seluruh interaksi kekuasaan. Kualitas pemerintahan juga mutlak pada kualitas pemimpinnya. Seluruh pengambilan keputusan dalam proses pemerintahan ditentukan boleh atau tidak bertentangan dengan keinginan pemimpin. Oleh karenanya, populer disebutkan dia adalah pembawa kemakmuran, ataupun juga dapat menjadi sumber bencana. Dalam situasi ruling, pemimpin yang mendiktekan nilai-nilai, bahkan hukum yang diformulasikan secara sepihak, memiliki keleluasaan untuk tunduk kepada nilai-nilai dan hukum yang berlaku, atau melanggarnya jika tindakan itu dipandang lebih menguntungkan kekuasaan. Dalam konteks historis, proses ruling ini terlihat baik dalam sistem kerajaan absolut maupun sistem diktatorial.

   2.     Pemerintahan sebagai governing process.

Ditandai oleh praktek pemerintahan yang didasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus (wacana). Dalam proses ini, walaupun sistem hukum yang ada belum lengkap, kekurangan itu ditutupi oleh tradisi membuat konsensus tadi. Kedaulatan rakyat sebagai konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya di sini.

 3. Pemerintahan sebagai an administering process.

Dibangunnya suatu sistem hukum yang kuat dan komprehensif melalui seluruh interaksi kekuasaan, dan dikendalikan oleh sistem administrasi yang bekerja secara tertib dan teratur. Di dalam sistem ini, setiap konsensus yang dicapai akan tertuang ke dalam aturan hukum yang mengikat dan setiap tindakan serta peristiwa pemerintahan dan kemasyarakatan terekam ke dalam suatu administrasi yang dapat sewaktu-waktu diacu dalam proses pengambilan keputusan. Kalau sistem ini sudah terbangun, masalah kepribadian pemimpin tidak lagi menjadi faktor determinan. Maksudnya, siapapun yang masuk ke dalam posisi pemimpin akan taat atau dipaksa oleh sistem yang berlaku untuk tunduk pada aturan dan nilai-nilai yang baku. Adapun aparatur dan warga negara yang secara aktif menaati aturan tersebut berperan sebagai pengawas atas kejujuran dan konsistensi proses kepemimpinan yang berlaku.

Ketiga paradigma ini sekaligus merupakan tahapan dalam pembangunan sebuah pemerintahan. Pemisahan atas ketiga konsep tersebut hanya untuk menggambarkan bahwa nilai-nilai yang melekat dan menyertai proses pemerintahan berubah berdasarkan dinamika masyarakat yang bersangkutan. Jika ketiga konsep tersebut dianggap sebagai nilai dan aturan yang bersifat bulat, maka pergeseran dari ruling ke governing ke administering sebaiknya dilihat sebagai isyarat kemajuan. Dalam kenyataannya, setiap pemerintahan memiliki karakter yang membaur lebih dari satu sifat dasar dari tiga paradigma itu. Perbedaannya terletak pada kecenderungan karakter mana yang dominan mewarnai keberadaan mereka. Pergesearan dalam paradigma itu, tidaklah berjalan secara linear dan positif. Suatu praktek pemerintahan yang semula lebih dekat kepada proses governing bisa saja mundur kembali ke proses ruling. Jika dikaitkan dengan demokrasi, maka proses governing merupakan awal dari kelahiran pemerintahan yang demokratis, dan proses administering merupakan wujud yang lebih menjamin kelangsungan pemerintahan yang demokratis itu.

Konsep tentang pergeseran paradigma itu bertolak dari asumsi bahwa penghayatan masyarakat tentang makna sebuah pemerintahan berkembang seiring dengan peningkatan kualitas peradaban yang mereka bangun. Jika pada suatu masa tertentu terbentuk kepercayaan yang luas bahwa proses governing lebih baik daripada proses ruling, dan proses administering lebih baik daripada proses governing, maka ketiga konsep itu bisa dianggap sebagai paradigma. Jadi, walaupun dalam kenyataan unsur-unsur dari dua atau tiga konsep dapat ditemukan bersama dalam sebuah pemerintahan, tetap dapat diamati konsep dan nilai mana yang dominan. Keberadaan bersama ketiga paradigma itu sebaiknya dilihat sebagai suatu proses transisi yang sangat mungkin terjadi, walaupun ada yang transisinya berjalan cepat atau lamban. Akan tetapi, ketiga konsep tersebut dapat menjadi keraguan jika masyarakatnya menganggap ketiganya selalu diterima secara luas sebagai kebenaran yang mutlak menyertai keberadaan sebuah pemerintahan. Dalam konteks ini, menurut Ryaas Rasyid (22:1997) dalam bukunya makna pemerintahan, tidak memenuhi syarat sebagai paradigma, tetapi lebih menampil sebagai spektrum pemerintahan.

 

Senin, 02 Desember 2024

Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan

 

A.    Konsep Pengetahuan dan Ilmu

 

Pengetahuan atau knowledge adalah hal tahu atau pemahaman akan sesuatu yang bersifat spontan tanpa mengetahui seluk beluknya secara mendalam. Pada hakikatnya, segala apa yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu. Ciri pengetahuan adalah tidak terbuka atas dasar pengamatan dan pemriksaan. Sedangkan ilmu pengetahuan atau science adalah ilmu pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis dan logis. Metodis maksudnya pengetahuan tersebut diperoleh dengan menggunakan cara kerja yang terperinci dan telah ditentukan sebekumnya (deduktif dan induktif). Sistematis maksudnya pengetahuan tersebut merupakan suatu keseluruhan yang mandiri dari hal-hal yang saling berhubungan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Logis merupakan pernyataan yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan rasional sehingga dapat ditarik kesimpulan yang rasional juga.

Ada orang yang ingin tahu dan berusaha memuaskan keingingannya itu lebih mendalam. Dia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam keseluruhannya, tidak hanya memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya tidak berguna, masih disekidiki juga. Contohnya, tidak puas dengan sifat air yang mendidih jika dipanasi, diselidikinya pula bagaimanakah air itu, unsur dasarkah atau perpaduan dari beberapa unsur, dan lain sebagainya. Pengetahuan ini berbeda dengan pengetahuan biasa, sehingga disebut ilmu pengetahuan.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan ini namun terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival).  Sebagai makhluk individu, manusia terdiri atas substansi batin yang menginspirasi spirit dan mental dan substansi zahir yang berkaitan dengan insani dan ragawi.substansi tersebut akan melahirkan aspek transenden, idealita, sosialita, dan populasi yang merupakan pembentuk tatanan suprastruktur dan infrastruktur dalam khasanah kolektiva dalam lingkungannya. Karenanya pola pikir yang akan dikembangkan sedapat mungkin melihat keterkaitan harmonisasi manusia sebagai makhluk individu sekaligus bermasyarakat dalam lingkungan yang lebih luas dan besar.

Pengetahuan yang dimiliki manusia memang mampu dikembangkan. Hal ini karena dua hal utama, yaitu pertama, manusia mempunyai bahasa mengomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap. Kemampuan berfikirnya berada dalam suatu alur kerangka berfikir tertentu. Secara garis besar, cara berfikir demikian disebut penalaran (pemikiran logis dan analitis).

Binatang mampu berfikir namun tidak mampu berfikir nalar. Insting yang dimiliki binatang jauh lebih peka daripada insting seorang insinyur. Binatang sudah jauh-jauh berlindung ke tempat aman sebelum gunung meletus, namun binatang tidak mampu menalar gejala mengapa gunung meletus. Kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa dan pikiran.

Pengetahuan dapat dibagi menjadi dua, yakni :

1.      Pengetahuan non ilmiah

    Pengetahuan non ilmiah atau pseudo science diperoleh dengan mengandalkan dugaan, perasaan, keyakinan dan tanpa diikuti proses pemikiran yang cermat. Oleh karenanya, pengetahuan yang seperti ini presentasi kebenarannya rendah. Secara umum pengetahuan non ilmiah seperti :

a.       Mitos

Merupakan gabungan dari pengamatan, pengalaman namun sebagian lainnya berupa dugaan, imajinasi, dan kepercayaan.

b.      Wahyu

Merupakan komunikasi antara sang pencipta dengan makhluknya dan merupakan substansi pengetahuan yang disampaikan kepada utusannya. Manusia dalam menerima pengetahuan ini bersifat pasif, namun dengan keyakinan semuanya benar.

c.       Otoritas dan tradisi

Pengetahuan yang telah mapan dan ada sering digunakan oleh pemimpin atau secara tradisi untuk menyatakan kebenaran.

d.      Prasangka

Berupa dugaan yang kemungkinannya benar atau salah. Dengan prasangka orang sering mengambil keputusan atau kesimpulan yang keliru. Cara ini hanya berguna untuk mencari kemungkinan lain mengenai konsep kebenaran.

e.       Intiusi

Merupakan salah satu kegiatan berfikir tertentu yang non analitik, tidak berdasarkan pada pola berfikir tertentu yang rasional dan empiris.

f.       Penemuan kebetulan

Pengetahuan yang pada awalnya ditemukan secara kebetulan dan beberapa diantaranya sangat berguna.

g.      Trial and Error (coba-coba)

Merupakan serangkaian percobaan asal atau coba-coba saja yang tidak didasari oleh teori yang ada sebelumnya, sehinga tidak memungkinkan diperolehnya kepastian pemecahan suatu masalah atau hal yang diketahui.

Kendatipun kebenaran pengetahuan melalui cara di atas tidak bersifat ilmiah, hal ini bukan berarti kebenaran tersebut tidak punya arti sama sekali.

2.      Pengetahuan ilmiah (science)

       Pencarian pengetahuan dengan cara ilmiah dilakukan berdasarkan beberapa cara yaitu, pemikiran rasional, pengalaman empiris (fakta) maupun berdasarkan referensi pengalaman sebelumnya. Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara atau metode ilmiah (scientific method) disebut ilmu. Artinya nanti dapat disebut ilmu apabila memenuhi kriteria yaitu rasional dan empirik.

 

B.     Pengertian Ilmu Pengetahuan

 

Pengertian ilmiah, atau ilmu pengetahuan atau ilmu menurut beberapa para ahli mempunyai pengertian sebagai berikut :

1)      Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag dalam bukunya “The Fabric of Society” menulis bahwa science isi empirical, rasional, general, and cummulative and it is all four at once. Artinya ilmu memiliki kriteria empiris, rasional, umum, kumulatif, dan keempatnya serentak terpenuhi.

2)      Mappadjanti Amien merumuskan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang berawal dari pengetahuan, bersumber dari wahyu, hati dan semesta yang memiliki paradigma, objek pengamatan, metode dan media komunikasi membentuk sains baru dengan tujuan untuk memahami semesta untuk memanfaatkannya dan menemukenali diri untuk menggali potensi fitrawi guna mengenai Allah.

3)      Syahruddin Kasim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah pancaran hasil metabolisme ragawi sebagai hidayah sang pencipta yang berasal dari proses interaksi fenomena fitrawi melalui dimensi hati, akal, nafsu yang rasional, empirik dan hakiki dalam menjelaskan hasanah alam semesta demi untuk menyempurnakan tanggung jawab kekhalifaan.

 

C.    Fungsi Ilmu Pengetahuan

      Ilmu pengetahuan scara umum dapat memiliki tiga fungsi yang paling utama, yaitu :

1.      Menjelaskan (explaining, discribing)

Fungsi menjelaskan mempunyai empat bentuk yaitu :

a.       Deduktif, yaitu suatu ilmu harus dapat menjelaskan sesuatu berdasarkan premis pangkal ilir yang telah ditetapkan sebelumnya.

b.      Probabilistik, yaitu ilmu dapat menjelaskan berdasarkan pola fikir induktif dari sejumlah kasus yang jelas, sehingga hanya dapat memberi kepastian (tidak mutlak) yang bersifat kemungkinan besar atau hampir pasti.

c.       Fungsional, berarti dapat menjelaskan letak suatu komponen dalam suatu sistem secara keseluruhan.

d.      Genetik, berarti ilmu dapat menjelaskan suatu faktor berdsarkan gejala-gejala yang sudah sering terjadi sebelumnya.

2.      Meramalkan (prediction)

Ilmu harus dapat menjelaskan faktor sebab akibat suatu peristiwa atau kejadian, misalnya apa yang terjadi jika harga BBM naik.

3.      Mengendalikan (controlling)

Ilmu harus dapat mengendalikan gejala alam berdasarkan suatu teori, misalnya bagaimana mengendalikan kurs rupiah dan harga.

 

D.    Kriteria Ilmu Pengetahuan

Tidak semua ilmu pengetahuan disebut ilmu, konsep akan merupakan suatu ilmu pengetahuan apabila cara mendapatkannya memenuhi syarat-syarat berikut yaitu :

1.      Logis, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan yang diakui kebenarannya.

2.      Objektif, sesuai dengan objek yang dikaji dan didukung oleh fakta empiris.

3.      Metodik, pengetahuan diperoleh dengan cara-cara tertentu yang teratur, dirancang, diamati, dan terkontrol.

4.      Sistematik, berarti bahwa pengetahuan tersebut disusun dalam suatu sistem yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling menjelaskan sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.

5.      Universal, pengetahuan berlaku untuk siapa saja dan di mana saja dengan tata cara dan variabel eksperimentasi yang sama dan hasil yang diperoleh sama juga dan konsisten.

6.      Kumulatif, khasanah ilmu pengetahuan selalu bertambah dengan hadirnya ilmu pengetahuan baru.

 

E.     Tinjauan Konstruksi Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan dapat melibatkan kemajuan dengan melibatkan kombinasi dari ketiga hal yang merupakan pergeseran pemahaman dari rasional-empirik ke rasional-eksperimental yang interpretatif, tiga hal yang dimaksud antara lain :

1.      Perumusan hipotesis atau “conjecture” secara intuitif, komprehensif, dan referensial.

2.      Eksperimentasi seperangkat peralatan dan fasilitas yang memungkinkan gejala yang akan ditinjau (dimodelkan) dapat berlangsung.

3.      Interpretasi melalui kompilasi, seleksi dan memproses data sesuai dengan keperluan metode inferensi yang digunakan dengan melibatkan konsep, hukum dan teori yang tersedia.

Konstriksi atau pembentukan konsepsi ilmu pengetahuan harus mengikuti atau memiliki metode ilmiah (scientific method) yang dijabarkan dalam tahapan sebagai berikut :

1.      Perumusan masalah

Masalah adalah topik atau objek yang diteliti dengan batasan yang jelas serta dapat diidentifikasi  faktor-faktor yang terkait.

2.      Penyusunan hipotesis

Hipotesis merupakan argumentasi tentang kemungkinan jawaban sementara terhadap masalah yang diterapkan. Disusun berdasarkan pengetahuan atau teori yang ada dan harus diuji kebenarannya dengan observasi atau ekperimentasi.

3.      Pengujian hipotesis

Merupakan usaha pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis dan kemudian diuji apakah fakta tersebut dapat mendukung hipotesis yang diajukan.

4.      Penarikan kesimpulan

Kesimpulan diambil berdasarkan hasil analisis data untuk melihat apakah hipotesis yang diajukan diterima atau tidak. Hipotesis tang diterima merupakan pengetahuan yang kebenarannya teruji secara ilmiah dan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan.

 

 

F.     Unsur-unsur Pembentuk Ilmu Pengetahuan

Keberadaan ilmu pengetahuan terbentuk dari hukum secara khusus dan teori yang lebih umum, baik dalam rumusan hukum maupun teori dan melibatkan unsur konsep yang merupakan konstruksi mental dalam menginterpretasi hasil observasi. Konsep merupakan simbol-simbol yang membantu untuk mengorganissikan pengalaman. Hukum adalah korelasi antara dua konsep atau lebih yang dekat kaitannya dengan hal yang teroservasi. Hukum mencerminkan urusan sistematik suatu pengalaman dan berfungsi untuk memberikan pengalaman baru menurut pola yang beraturan dan dapat dinyatakan dalam bentuk grafik, persamaan atau ekspresi verbal tentang interrelasi antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya. Sedangkan teori adalah kerangka konsepsi yang terorganisasi menjadi suatu generalisasi yang dapat dijabarkan menjadi hukum-hukum. Dibandingkan dengan hukum, teori memiliki generalisasi yang jauh lebih luas dan komprehensif.

Konsep-konsep yang digunakan dalam teori adalah konstruksi mental yang disusun dari hasil penangkapan (encoding) pertanda alam dan fenomena sosial melalui metode survei atau eksperimen. Konsep-konsep ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda dari bahan mentahnya (data) oleh karena objek pengamatan dapat bersifat organik dan omni-objektif, dan sudah siap untuk masuk ke fase penjelasan tentang fenomena yang sedang ditinjau. Penjelasan tersebut bukan sekedar daftar konsep yang berhasil dirumuskan tetapi merupakan kaitan langsung antara dua atau lebih konsep yang memiliki tingkat keterkaitan. Kualitas teori yang dirumuskan oleh seseorang, kemudian diuji dan dievaluasi wilayah keberlakuannya dan kemampuan peramalannya.

Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi teori diantaranya adalah kesesuainnya dengan observasi, konsistensi internal hubungan konsep-konsepnya, dan sifat komprehensif cakupannya. Kriteria pertama adalah hubungannya dengan data yang dapat direproduksi dalam masyarakat keilmuan, atau kesesuaiannya dengan pengalaman empiris. Kriteria kedua menyangkut konsistensi dan koherensi. Kedua syarat ini mengonfirmasikan ketidakhafiran suatu kontradiksi antara konsep-konsep yang menyusun teori. Jika ini dipenuhi, maka teori tersebut memiliki validitas seperti yang telah diperhatikan oleh teori-teori yang telah lahir sebelumnya. Hasil lainnya, tercapai simplitas (kebersahajaan), suatu teori yang dicirikan oleh jumlah minimal asumsi yang dijadikan dasar penyusunan. Kriteria ketiga berkenan dengan sifat komprehensif suatu teori, termasuk generalitasnya, atau kemampuan untuk menunjukkan kepaduan yang melatarbelakangi fenomena yang beragam.

Kebenaran suatu teori adalah tujuan ilmu pengetahuan, tetapi dalam prosesnya yang dipertimbangkan  adalah derajat kesesuaiannya (adekuasi) dengan data yang diketahui dan sifat koherensi dan komprehensifnya dibandingkan teori-teori lain yang tersedia. Semua rumusan teori bersifat tentatif dan tidak kebal untuk direvisi, sebagaimana tujuan utama ilmu pengetahuan adalah meningkatkan pemahaman terus menerus menuju kesempurnaan penjelasan intelektual terhadap fenomena alam dan sosial yang secara alamiah menurut sunatullah, tidak akan habis untuk dikaji dan dipelajari karena kekuasaan-Nya.

 

G.    Sikap Ilmiah

Berikut ini diuraikan beberapa sikap ilmiah antara lain :

1.      Jujur ; ilmuan wajib melaporkan hasil pengamatannya secara objektif dan jujur oleh karena tanggungjawab yang dimilikinya melekat sebagai khalifah Tuhan di bumi, sehingga bila hasil penelitiannya tersebut diuji kembali oleh peneliti lain memberikan hasil yang sama.

2.      Terbuka ; seorang ilmuan mempunyai pandangan yang luas, cakupan cakrawala ide yang dipikirkannya sangat dalam, orientasi berfikirnya terbuka, jauh dari praduga dan menghargai pendapat orang lain, meskipun untuk menerimanya harus melakukan pengujian terlebih dahulu.

3.      Toleran ;  seorang ilmuan tidak akan merasa dirinya yang terhebat, bersedia belajar dari orang lain atau membandingkan pendapatnya dengan yang lain serta tidak pernah memaksakan pendapatnya pada orang lain.

4.      Skeptis ; dalam mencari kebenaran, seorang ilmuan seyogyanya bersikap hati-hati, sedapat mungkin mengedepankan sikap ragu terhadap sesuatu dan skeptis, akan tetapi tetap bersikap kritis sehingga akan melakukan tahapan penyelidikan kembali.

5.      Optimistis ; seorang ilmuan tidak akan mengatakan bahwa terdapat sesuatu yang tidak dapat dikerjakan sebelum melakukannya.

6.      Pemberani ; sifat ilmuan yang mencari kebenaran, maka akan berani melawan ketidakbenaran, kepura-puraan menghambat kemajuan dan sebagainya.

7.      Kreatif dan inovatif ; mencoba mendapatkan, menciptakan, memvariasikan sesuatu yang baru terutama guna mendapatkan nilai tambah bagi dirinya.

8.      Bertanggungjawab ; memiliki rasa tanggung jawab baik secara etik maupun secara moral, oleh karena itu ilmu tetap sejalan dengan fungsinya.